Header Ads Widget

jambimantap

Opini : Sekolah, lembaga yang membunuh pendidikan dan mencumbui prestasi


(Ilustrasi: Oedipus Rex | Sumber: Nationalgeography.grid.id)

Opini : Sekolah, Lembaga Yang Membunuh Pendidikan dan Mencumbui Prestasi 

Oleh : Agung Tri Prasetia, M.Pd,. Kons.

Sekitar bulan Juli 2007, Akbar dengan berat kaki melangkah ke sekolah yang sama sekali tidak dicintainya. Hari itu bertepatan dengan penyerahan rapor bagi siswa dan di hari itu juga evaluasi terhadap ‘pembelajaran’ dilakukan oleh sekolah pada setiap siswa yang ada.

“Akbar al Wa’ad!” Teriak wali kelas yang bernama ibu Hes, “iya bu” dengan malas dan lemas di waktu yang kasip itu. Setelah mendapatkan buku rapor, akbar tetap juga dengan kemalasan dan kelemasan menuju kursinya, mengambil tasnya dan pulang ke rumah.

“Kenapa akbar, nilaimu jatuh sekali di semester dua ini. Semester satu kamu masih masuk 3 besar sekarang kamu di 21. Ibu tahu kondisimu, mohon tetap semangat ya, jangan putus asa” begitulah kira-kira pernyataan ibu Hes jelata akbar berharap akbar tetap semangat. Namun kejadian dua bulan lalu tak mungkin dapat dilupakan begitu saja, lebih dari separuh rumah tempat dimana dia lahir dan tumbuh dibakar beserta dengan setengah dari desanya oleh orang-orang desa sebelah. Konflik yang menimbulkan bekas pada hati dan pikiran akbar ini terjadi karena dua desa berkelahi dan desa akbar berada di tengah dari mereka, walaupun tidak ada korban jiwa, namun kejadian ini cukup menanamkan rasa trauma bagi masyarakat desa akbar yang juga bukan penduduk asli di wilayah tersebut.

Sesampainya di rumah yang masih berbau arang, akbar tidak melaporkan apapun kepada orangtuanya. Berbeda ketika SD, akbar selalu berlari pulang dengan membawa kebanggaan penuh di kedua tangannya beserta rapor yang menandakan akbar sebagai juara kelas dan hal itu terjadi dari kelas 1 hingga kelas 6.

Sebenarnya, akbar bukanlah anak yang lemah secara mental. Beberapa hari setelah terbakarnya rumah, akbar masih bersemangat ke sekolah. Namun ada satu kejadian yang cukup mematahkan semangatnya. Suatu hari akbar mengangkat tangan dan ingin menjelaskan pandangannya terhadap satu pelajaran. setelah diizinkan dan akbar menjelaskan pandangannya, si guru tidak menyukai penjelasan akbar yang terkesan “sok sok-an” lalu guru tersebut berkata “bagi yang rumahnya terbakar bagusnya perbaiki rumah dulu, baru bicara perbaiki cara saya mengajar”.

Kita beranjak ke gambar sampul di atas,

Gambar tersebut adalah sebuah lukisan karya Charles Jalabert yang berjudul “Oedipus and Antigone”, ilustrasi dalam lukisan tersebut menjelaskan kondisi penolakan oleh masyarakat terhadap Oedipus dan Antigone (anaknya) yang membawa sebuah kutukan Karena telah membunuh ayahnya dan menikahi ibunya sendiri, adapun Antigone adalah anak dari perkawinan Oedipus dengan ibu kandungnya, Jacoste.

Kisah Oedipus ini nantinya akan menjadi inspirasi bagi psikolog terkenal Sigmund Freud dalam memberikan label terhadap kecenderungan anak laki-laki yang mencintai ibunya dan benci pada ayahnya pada pada fase Phallic (usia 3 – 5 tahun).

Dalam kisahnya, ayah Oedipus yang bernama Lauis adalah seorang raja yang memiliki istri cantik bernama Jacoste, Oracle meramalkan Lauis dan Jacoste tidak boleh memiliki anak karena kekuasaan Lauis akan berakhir ketika anak tersebut beranjak dewasa. Akan tetapi, karena tampaknya raja Lauis, Jacoste tetap melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian juga diramal oleh Oracle. Ramalan tersebut kemudian berisi bahwa anak laki-laki ini akan membunuh ayahnya dan menikahi ibunya, mendengar ramalan tersebut Lauis dan Jacoste sepakat untuk membuang anak ini.

Singkat cerita, anak yang dibuang ini ternyata diselamatkan oleh petani dan kemudian dibesarkan serta diberi nama Oedipus Rex. Suatu ketika, Oedipus mendatangi Oracle untuk meramal masa depannya. Oracle mengatakan bahwa Oedipus nantinya akan membunuh ayah dan menikahi ibunya sendiri, Karena rasa sayang kepada orangtua yang membesarkannya, Oedipus memilih untuk menjauh dari mereka dan pergi ke kota Thebes. Di perjalanan, Oedipus bertemu dengan rombongan yang dipimpin oleh lelaki tua, mereka berdua berdebat tentang siapa yang lebih berhak dahulu melalui sebuah jalan dan hasil perdebatan mereka berakhir ketika Oedipus membunuh lelaki tua yang tidak lain adalah Lauis, ayah kandungnya sendiri.

Oedipus melanjutkan perjalanannya dan kemudian mendengar kabar bahwa di kota Thebes ada serangan spinx yang meneror warga kota. Oedipus datang ke kota kemudian menghentikan teror spinx, oleh karenanya Oedipus diangkat menjadi raja dan berhak menikahi Ratu Jacoste yang tidak lain adalah ibu kandungnya sendiri.

Mari kembali ke cerita awal,

Kita tidak membenarkan ramalan apapun, penjelasan singkat dari cerita Oedipus tadi bertujuan untuk menjelaskan penyakit lain yang dikeluarkan dari kotak pandora, penyakit yang keluar tersebut adalah Kematian, keserakahan dan kemiskinan.

Kematian dalam kisah diatas terjadi ketika Lauis dibunuh oleh Oedipus. Raja Lauis merupakan raja yang dicintai oleh rakyatnya, kecerdasan dalam memimpin, kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan dan keadilan dalam hukum menjadi salah tiga diantara tanda-tanda kehebatannya. Namun harus mati mengenaskan di tangan anaknya sendiri setelah berdebat tentang hal yang remeh.

Kedua, keserakahan dalam kisah tidak diceritakan secara eksplisit, namun jika merujuk pada bacaan sumbernya ibu Oedipus, Jacoste adalah perempuan yang cantik dan menawan serta semua lelaki pasti ingin menikmati tubuh indah yang ditampilkan oleh sang ratu. Semua orang mengagumi sang ratu kerajaan Thebes tersebut.

Coba analogikan dengan hal ini,

Sekolah merupakan lembaga yang berdiri atas mimpi pendidikan. Sistem dan metode yang diaplikasikan di sekolah bertujuan untuk mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri. Artinya sekolah lahir oleh karena adanya pendidikan. Tanpa pendidikan dan mimpinya, sekolah tidak akan pernah ada. Toh dalam sejarah pendidikan jauh lebih dahulu eksis dibandingkan sekolah.

Pernyataan guru Akbar ketika kritik pembelajaran muncul tadi merupakan pengejewantahan dari kematian pendidikan, dan benar itu terjadi di sekolah. Guru tidak menghargai kondisi psikis yang terjadi pada siswanya sehingga si guru dapat berbicara tanpa memikirkan perasaan orang lain, rasanya sudah mati!

Jika kita kaji lebih dalam lagi, guru yang mengucapkan kata-kata kurang ajar tadi tentunya juga mengalami situasi psikis tertentu. Mungkin si guru di tekan oleh kepala sekolah dengan persoalan administrasi yang belum tuntas, dan si kepala sekolah mungkin juga ditekan, didesak oleh pengawas karena pencapaian yang kurang dari sekolah. Berlanjut si pengawas juga mungkin didesak oleh dinas pendidikan kabupaten untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan cepat, dinas pendidikan di desak oleh Bupati setelah bupati dihubungi oleh gubernur tentang indeks pencapaian mutu pendidikan Provinsi yang rendah dan relatif turun. Gubernur ditanyai dan diinstruksikan oleh presiden mengapa kualitas di Provinsi yang dipimpin masih rendah?. Menurut kita presiden adalah yang tertinggi, namun ternyata presidenpun juga ditekan oleh rakyat tentang kualitas pendidikan dan yang terakhir rakyat adalah kita. Ironi!

“Banyak yang mati olehnya, perasaan, tata aturan dan kebijaksanaan sudah dibunuh oleh sekolah” (Ivan Illich; deschooling society)

Sekolah menjadi Oedipus, membunuh pendidikan yang sejatinya adalah ayah kandungnya!

Lalu, pada cerita akbar. Diceritakan wali kelas yang peduli, menanyakan dan memberikan semangat pada akbar agar termotivasi dan memaafkan masa lalu yang pahit. Memang ini adalah sebuah bentuk suporsi yang baik dari seorang guru. Namun tolak ukur yang digunakan oleh guru adalah peringkat yang sarat dengan prestasi dan pencapaian. Benar prestasi mengukur dan mengevaluasi pendidikan, namun ukuran prestasi bukanlah instrumen yang adil jika prestasi yang dianggap pencapaian hanyalah bidang mata pelajaran utama dan sangat eksplisit. Adakah pencapaian itu dianggap pada prestasi seni? Olahraga? Beladiri?. Oh mungkin ada namun pasti itu penghargaan terhadap hal itu hanyalah gejala impotensi, karena guru dan sekolah hanya ingat sebentar lalu meminta medali atau pialanya ditinggal di lemari prestasi yang penuh dengan kebohongan. Yang lebih ekstrim, adakah penghargaan bagi anak dengan teman terbanyak? anak dengan komunikasi interpersonal yang baik? anak dengan komunikasi massa yang hebat? Dan anak yang memiliki mimpi yang bijaksana? Tentu tidak dan takkan akan mungkin terjadi! Selagi ukuran prestasi hanyalah piagam dan pencapaian kuantitatif saja.

Bukankah ini keserakahan atas keindahan? Sekolah dengan segala sistemnya mencumbui prestasi ini tanpa pernah merasa puas. Sekolah menjadi Oedipus yang setiap hari meniduri ibu kandungnya sendiri yang bernama Pencapaian.

Terakhir, dalam kisah Oedipus, diceritakan pada suatu ketika setelah memiliki 4 orang anak dari ibunya Oedipus diberikan kenyataan tentang apa yang telah dia lakukan kepada ibu dan ayah kandungnya. Oedipus menyesal, membuang kedua matanya sebagai bentuk penebusan dosa, diusir oleh rakyatnya karena melakukan tindakan tercela dan ibunya, Jacoste menggantung dirinya sebagai wujud dari penebusan dosa yang telah dilakukannya.

Saya, menempelkan makna kemiskinan yang dimaksud sebagai penyakit terakhir yang di keluarga dari dalam kotak pandora. Kemiskinan akan kebijaksanaan, keadilan, keindahan, kenikmatan, dan keagungan.

Entah kapan, sekolah disadarkan dengan kenyataan bahwa dirinya sudah melakukan perbuatan tercela dan kemudian menusuk matanya, membuang tahtanya dan prestasi akademis akan gantung diri sebagai bentuk penebusan dosa atas sekolah dan prestasi karena telah membunuh pendidikan dan menghilangkannya dari muka bumi.

Sekian, tulisan ini saya dedikasikan kepada setiap guru di hari pendidikan nasional.

Ing ngarsa sung Tulada

Ing madya mangun karsa

Tut wuri Handayani

FDC, 2 Mei 2024

Post a Comment

0 Comments