Header Ads Widget

jambimantap

Opini : Prestasi akademis: “kotak pandora” bagi si kreatif


(Ilustrasi pandora dan kotaknya. Sumber: Wikipedia.com)

Opini : Prestasi Akademis: "Kotak Pandora" Bagi Si Kreatif

Oleh : Agung Tri Prasetia, M.Pd,. Kons.

“Akbar!. Sini kamu, apa kerja kamu dari tadi!?” Murka buk Sri meluap sejadi-jadinya. Sambil tersenyum-senyum akbar maju ke depan kelas membawa buku catatan biologinya. “Sini ibu mau lihat!” Murka buk Sri belum redup. “Oh ini kerja kamu, teman-temanmu belajar dengan serius, kamu malah buat-buat gambar tak senonoh, porno kamu! Saya laporkan ke kepala sekolah ya!? “Jangan buk, itu gambar pelajaran hari ini buk” Akbar memelas. “Saya tidak pernah mengajar seni budaya seumur hidup saya, saya sejak tahun 1994 mengajar mata pelajaran biologi dan sampai sekarang tetap belajar biologi, jangan mengada-ada kamu ya. Saya laporkan kamu, orangtua kamu dipanggil!” Buk Sri tetap meluap semakin menjadi. “Itu gambar sistem pencernaan yang ibuk jelaskan dari jam 7 tadi buk” Akbar tetap mencoba membela diri. “Coba saya tanya, siapa di kelas ini mendengar perintah saya untuk menggambar pelajaran kita pagi ini? Ada?” Buk Sri bertanya ke anggota kelas. “Tidak buuk” semuanya menyahut memberikan makna implisit bahwa kami mencatat semua yang ibuk Sri sampaikan.

Kejadian di atas nyata adanya, terjadi di bulan Februari tahun 2009 di salah satu rintisan sekolah bertaraf internasional di Provinsi Jambi. Kejadian yang terjadi di hari Selasa itu tetap membekas bagi Akbar yang sekarang sudah memaafkan apa yang terjadi 15 tahun yang lalu, sekitar tahun 2015 Akbar bertemu dengan buk Sri di kota Padang dalam acara wisuda anaknya buk Sri yang sudah masuk tahun ke 7, kebetulan di hari yang berbahagia itu Akbar juga diwisuda d pada tahun ke 4 perkuliahan.

Tak ada keberlanjutan dari cerita di atas, kisah tersebut hanya menghantarkan tulisan ini pada titik noda pendidikan Indonesia yang selalu terjadi walaupun berbeda formatnya.

“Kotak pandora” merupakan benda mitologi Yunani kuno yang dimiliki oleh Aprodite (manusia perempuan pertama yang diciptakan), kotak ini merupakan hadiah perkawinan yang diberikan oleh Zeus kepadanya. Namun anehnya kotak ini sama sekali tidak boleh dibuka dan diintip isinya. Suami aprodite, Epimetheus memiliki saudara Promotheus, mereka berdua merupakan wujud dari sifat asli manusia, Epimetheus wujud dari sifat bodoh dan tergesa-gesa sedangkan Promotheus wujud dari sifat cerdas dan penuh perhitungan. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Pandora sendiri yang memiliki keinginan untuk membuka kotak hadiah dari Zeus, namun bacaan lain mengatakan bahwa kotak pandora dibuka karena hasrat dari Epimetheus yang penasaran dengan indahnya kotak tersebut (karena sifat tergesa-gesa dan bodoh tadi).

Terbukanya kotak pandora menyebabkan hilangnya keabadian di dunia ini, kotak tersebut mengeluarkan 5 macam keburukan yang dihadapi oleh manusia yaitu teror, penyakit, kematian, keserakahan dan kelaparan (pada sumber lain ditambahkan dengan bencana dan kelaparan).

Mari kita korelasikan hal ini dengan fakta yang ada di lapangan.

Scopenhauer dalam buku “Essay on the freedom of the will” menjelaskan sejak lahir manusia dititipkan cita-cita yang indah oleh lingkungan etis-nya (menurut saya mungkin itu orangtua, agama, budaya dan hal lain yang cenderung rigid). Kalimat diatas memberikan satu konfirmasi bagi kita semua bahwa memang sejak kecil orangtua tua sudah membebani kita dengan mimpi-mimpinya, akan tetapi perlu kesadaran bagi si orangtua bahwa dia sudah memberikan is kotak pandora pertama kepada anaknya, yaitu teror. Bukankah hal ini berbahaya wahai orangtua?

Mimpi yang dimiliki oleh orangtua terhadap anaknya di dunia timur mungkin dianggap sebagai keniscayaan bahkan beberapa sub sistem masyarakat menganggap hal ini sebagai bentuk kebajikan bagi anak jika dapat mencapai cita-cita orangtuanya. Namun dalam hal ini kita coba mengkaji nilai “kebijaksanaan” ini secara mendalam.

Karena kajian kita adalah manusia, mari kita mulai pembahasan ini dengan psikologi. Sigmund Freud merupakan salah satu ahli psikologi yang menjunjung tinggi perspektif evolusi (jika Charles Darwin fokus kepada aspek biologikal, maka Freud mengembangkannya dan fokus pada aspek psikologikal). Misalnya menurut Freud, kepribadian manusia di usia 25 tahun merupakan produk dari pengalaman “pleasure” yang dialami sejak usia 0 tahun, maksudnya terjadi proses yang evolutif dalam perkembangan kepribadian manusia.

Kita kembali ke mimpi,

Walaupun menolak hereditas sebagai salah satu aspek yang mempengaruhi kepribadian, Freud tidak menolak adanya pengaruh orangtua terhadap psikis anak. Freud beranggapan walaupun tidak dibesarkan oleh orangtua biologis, anak tetap akan terpengaruh olehnya, karena pada diri anak ada sub komponen kepribadian yang disebut dengan “super ego” yang salah satu pembentuknya adalah “Conscience” (hati nurani), mungkin si anak membenci orangtuanya dan hal itu berani diverbalkan dengan jelas, namun menurut Freud kebencian tersebut memberikan makna implisit bahwa si anak kecewa kepada orangtua biologisnya dan “core” dari kecewa adalah rasa cinta dan rasa cinta dapat menundukkan kebebasan berkehendak. Mengapa cinta menjadi hal yang penting di bahas disini? Hal tersebut bisa kita jawab dengan lanjutan kisah nyata akbar dibawah ini.

Akbar menunduk sembari menyeka ingus yang tak henti turun dari lubang hidungnya “maafkan Akbar ma, akbar janji tidak akan membuat gambar-gambar lagi di buku sekolah akbar” akbar memelas. “sudah ketiga kalinya mama dipanggil oleh guru nak, dan kasusnya selalu sama. Akbar anak ibu tidak serius belajar padahal dia sudah dimasukkan ke kelas unggul RSBI, malu mama nak” mama Akbar masih tidak tega untuk memarahi anaknya. “Tapi ma, akbar suka menggambar ma”, akbar mencoba membela. “Mama tidak mau tahu akbar, berhenti menggambar. Kamu harus belajar biar menjadi orang sukses, jangan seperti mama” memang, akbar selalu diceritakan oleh mamanya tentang bagaimana mamanya harus putus sekolah kelas 3 SMP karena biaya.

Apa yang dialami oleh akbar, tidak hanya dialami oleh akbar. Ada banyak anak di dunia ini mengalami hal serupa, namun karena mencintai orangtuanya si anak memilih untuk mengubur mimpinya.

Bukankah ini semacam teror yang menghantui isi kepala anak? Bukankah prestasi yang bapak dan ibu tanyakan setiap kali anak menerima rapornya seperti teror yang menghantui dia setiap semester?

Isi kotak pandora kedua yang keluar adalah penyakit.

Penyakit (disease) diartikan sebagai kondisi abnormal yang merusak atau mengganggu berjalannya sistem pada tubuh makhluk hidup. Saya mengutip pertanyaan pada podcast “end game”, pertanyaannya adalah “apa yang terjadi pada pendidikan indonesia disaat 20% APBN dianggarkan untuk pendidikan, namun pendidikan masih belum sampai pada goals yang diharapkan”. Saya mencoba menjawab dalam pemahaman saya yang terbatas. Indonesia tidak kekurangan apapun dalam mengembangkan pendidikan, kebijakan, institusi pendidikan, kurikulum dan fasilitas sudah sangat mumpuni dan pada faktanya semuanya berkembang sesuai dengan zamannya. Yang menjadi masalah adalah pada setiap personil yang bertindak pada proses pendidikan itu sendiri. Survei yang dilakukan oleh Nani dan Melati pada tahun 2019 terhadap 100 orang peserta PPG luar jabatan menunjukkan bahwa menjadi guru merupakan pilihan akhir dengan alasan: pertama, daripada tidak bekerja; kedua, kerjanya lebih santai; ketiga, dulu tidak diterima di jurusan yang diinginkan; keempat, lebih mudah dapat kerjanya dan lebih dekat dari rumah. Keempat alasan tersebut seperti melecehkan dan memperkosa pendidikan. Fakta lain yang semakin memperparah, empat alasan itu diperoleh dari pernyataan orangtua dan guru waktu sekolah.

Riset lain dilakukan oleh Zahroh pada tahun 2016 terhadap siswa pondok pesantren di Riau, temuannya adalah 74,22% santri sekolah karena dipaksa oleh orangtuanya agar anaknya menjadi seorang hafidz Quran, dalam pendalamannya ditemukan hal lebih menarik dan substantif. Orangtua sering menyatakan tujuan si anak disekolahkan di pondok pesantren agar nanti di akhirat si anak membawa orangtua ke surga dan meletakkan mahkota kepada orangtuanya. Tidak ada yang salah dalam niat tersebut, namun fakta lain yang ditemukan oleh Syaan (seorang guru SD) hampir setengah siswanya yang hafidz malah melakukan tindakan menyimpang ketika remaja. Hal ini dikarenakan: pertama, menjadi hafidz mengharapkan beasiswa; kedua, menjadi hafidz agar dianggap alim, menjadi ustadz, imam dan khatib. Lebih lanjut dalam pendalamannya, terjadi karena hasutan dari orangtua si anak. “Betapa bangganya papa nak, melihat anak papa ceramah dimana-mana”. Tidak ada yang salah jika memang anak memilih menjadi itu, kesalahan terjadi ketika orangtua memilih anak untuk menjadi itu.

Memang ini bukan penyakit secara fisik, namun hal ini menjadi penyakit secara mental pada diri anak. Russeau menjelaskan bagaimana substansi pendidikan yang natural berkembang pada diri anak menjadi rusak karena adanya keinginan pada orangtuanya. Penyakit ini merusak jiwa anak yang memiliki keluasan dan kedalaman potensi harus rusak sistemnya karena orangtua. Seperti lingkaran setan, hal ini sudah menjadi siklus yang selalu terjadi dan susah untuk mengelak darinya. Namun pemaparan hasil riset yang dijelaskan di atas masih dalam dimensi gejala yang dapat dilihat dan dirasakan. Penyakit yang sebenarnya terjadi pada orangtua dan menurut saya orangtua lah yang harusnya diobati melalui 20% APBN tersebut.

Post a Comment

0 Comments